Puncak Tangkuban Parahu |
Setelah
bertemu Lalonk, lalu mengelilingi Kota Bandung (baca cerita sebelumnya di sini),
muncul ide mengunjungi tempat wisata yang cukup terkenal di sana. Kami pun
bersepakat mengunjungi Gungung Tangkuban Perahu pada Sabtu, 24 Januari 2015
lalu.
Pohon rindang di salah satu ruas jalan Kota Bandung |
Mengendarai sepeda motor, kami
berangkat dari Kota Bandung sekitar pukul 11.00 menuju puncak Tangkuban Perahu.
Sepanjang jalan, saya tidak henti-hentinya berdecak kagum. Dari pusat Kota
Bandung, di sepajang jalan berdiri kokoh pohon yang rindang, menambah
keindahannya. Entah sejak kapan pohon tersebut ditanam. Jika dipeluk oleh
manusia, pasti tidak dijangkau lagi.
Tanaman sayur dan buah di Lembang |
Saya tidak begitu mengetahui nama
daerah yang kami lewati. Beberapa yang sempat saya baca dari papan informasi di
pinggiran jalan, jika tidak salah, namanya daerah Lembang. Sepanjang yang saya
lihat di kiri dan kanan jalan, hamparan tanaman sayuran dan buah mendominasi
hampir sebagian besar wilayah tersebut. Terdapat tulisan pada papan yang
dipajang dekat jalan, dimana mereka menerima pembeli sayur dan buah
(strowberry) langsung memetik dari pohonnya. Ini merupakan agrowisata yang
menarik.
Memasuki hutan Gunung Tangkuban Parahu |
Begitu mendekati puncang gunung,
jalanan basah. Ternyata di sana sering turun hujan. Suhu udara semakin dingin.
Kabut awan sesekali mengganggu pandangan. Beruntung angin meniupnya hingga
cerah kembali. Tapi, tidak lama kemudian, kabut itu muncul kembali. Begitu
seterusnya, sambil sesekali gerimis turun.
Kami memasuki gapura yang
bertuliskan ucapan, “Selamat Datang di Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban
Parahu”, tepat pukul 12.00. Itu berarti lama perjalanan kami dari Kota Bandung
hingga di sana mencapai kurang-lebih 1 jam. Di gerbang itu kami harus membeli
tiket masuk dulu. Harganya Rp. 35.000 per orang.
Gapura/gerbang masuk wisata alam Tangkuban Parahu |
Dari gerbang masuk hingga mencapai
puncakknya masih cukup jauh. Kita akan melewati jalan yang mendaki dan berliku
tajam. Mengendarai sepeda motor harus ekstra hati-hati. Selain karena kondisi
jalan yang cukup licin akibat hujan, kabut yang mengganggu jarak pandang juga
membutuhkan konsentrasi yang baik. Semakin ke puncak, semakin dingin. Beruntung
kami menggunakan jaket/sweater, meskipun tetap tidak mempan mengusir hawa
dingin tersebut. Bbbeeeerr....
Di puncak gunung Tangkuban Parahu |
Dalam perjalan di tengah hutan lebat
tersebut, ada perasan takut kalau-kalau ada perampok. Apalagi di sepanjang
jalan cukup sepi. Berbeda dengan kondisi di puncaknya, ternyata di sana sudah
banyak kendaraan yang parkir berjejer. Pengujung hari itu cukup banyak, mungkin
karena hasi Sabtu, banyak masyarakat yang berlibur dari rutinitasnya dan
memilih berkunjung ke sana.
Setelah memarkir sepeda motor, kami
segera menuju pusat kawah bekas letusan Gunung Tangkuban Parahu. Bau belerang
cukup menyengat penciuman. Banyak pengunjung menggunakan masker demi
kenyamanan. Saat itu, kami memilih menahan saja. Lagian bau belerang hilang
muncul sesuai dengan arah hembusan angin.
Dekat kawah Tangkuban Parahu |
Begitu melihat pengunjung yang baru
datang, banyak penjual makanan/minuman dan souvenir menghampiri kita menawarkan
dagangannya. Karena tidak begitu tertarik dan demi penghematan, kami menolak
dengan halus tawaran tersebut. Bagi saya, tujuan utama berkunjung ke tempat
wisata adalah memanjakan mata dengan pemandangan yang unik, lalu
mengabadikannya dengan kamera. Saya kira, semua orang juga seperti itu.
Gejalanya bisa terlihat dari ramainya pengunjung yang berfoto di sana.
Lalonk |
Penjual Souvenir Yang Cerdas
Begitu berada di dekat pagar batas pengunjung melihat
kawah dari dekat, saya dan Lalonk memotret secara bergantian dengan berbagai pose dan angle. Merasa tidak puas karena tidak ada foto bersama, saya
berusaha meminta pengunjung lain untuk memotret kami berdua. Hanya saja, setiap
pengunjung yang ada di situ sibuk dengan foto dirinya sendiri, teman atau
keluarganya.
Bapak penjual souvenir yang bantu kami memotret |
Tidak lama kemudian, seorang Bapak
tua menghampiri kami sambil menawarkan souvenir jualannya. Sekali lagi kami
menolak dengan halus. Bapak tadi juga tidak banyak memaksa. Kemudian, dia
memasukan barang dagangannya ke dalam tas. Melihat saya memegang kamera, bapak
tadi menawarkan untuk memotret kami berdua. Awalnya saya berpikir, jangan
sampai ini hanya “modus” agar membeli jualannya sebagai imbalan. Dia tetap
meyakinkan kami. “Tidak apa-apa kok Mas, mari, biar saya foto kalian berdua”,
katanya dengan ekspresi yang ikhlas.
Saya dan Lalonk |
Didorong keinginan bisa foto berdua
dengan Lalonk, saya akhirnya mempercayai bapak tadi. Dia mulai mengatur kami
dari cara pose hingga mengambil
beberapa jepretan. Setelah itu, dia mengembalikan kamera. Saya berterima kasih
kepedanya. Bapak tadi hanya mengangguk. Saya terkesan karena beliau tidak
menawarkan kembali dagangannya. Bagi saya, bapak tadi memang tulus membantu,
bukan hanya “modus”.
Saver & Lalonk |
Tidak lama kemudian, bapak tadi
menyahut, “Ayo foto di sana”, sambil menunjuk ke arah kerumanan orang banyak,
“Di sana ada papan dengan tulisan Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban Parahu.
Ada juga monumen ketinggian puncak gunung dari permukaan laut”. Saya dan Lalonk
mengikuti saja arahanya. Ternyata benar, pada papan tersebut berjubel orang
mengantri untuk mendapat giliran foto. Selain papan nama, di dekatnya ada pula
tulisan ketinggian puncak gunung yang mencapai 1830 m dari permukaan laut.
Akhirnya saya dan Lalonk bisa foto bersama di sana dengan bantuan bapak tua
tadi.
Berada di ketinggian 1830 m dari permukaan laut |
Setelah mengambil beberapa gambar,
saya mengambil kembali kamera dari si bapak. Seperti biasa, dia tidak meminta
imbalan atau menawarkan kembali barang dagangannya. Saya semakin yakin, kalau
bapak itu memang tulus membantu kami. Menghargai upaya yang telah dilakukannya,
saya memutuskan untuk membeli souvenir yang dijual sebagai oleh-oleh ke
Surabaya. Beliau tampak senang, begitu pula saya dan Lalonk.
Minum Bandrek
Setelah berpisah dengan bapak pejual souvenir tadi, saya
dan Lalonk terus memotret secara bergantian. Tiba-tiba, hujan turun dengan
lebatnya. Kami pun lari berteduh di salah satu tenda yang telah tersedia di
sana. Banyak pengunjung yang memadatinya. Selain itu, ada pula penjaja makanan
dan minuman.
Penjual minuman bandrek |
Perhatian saya tertuju pada penjual minuman ‘Bandrek’. Minuman ini sudah
tidak asing lagi didengar dari Mang Saswi dalam acara Ini-Talkshow @NET TV.
Biasanya, Kang Sule akan menanyakan Mang Saswi yang memegang segelas minuman,
“Minuman apa itu ?”. Lalu, Mang Saswi akan menjawab dengan menyanyi, sbb:
Inilah adalah rauan herbal yang
sangat berkhasiat,
Minuman hangat yang bikin
badan-mu ngorejat,
Udin petot, udara dingin pengen
meletot,
Badan pegel-pegel bisa langsung
ngi-gel..
Reff: (dinyanyikan 2 kali)
Yo bandrek, oooo..
Cap jahe, ora-popo
Ini, Cuma seribu
Enak sama ubi cilembu
Meski sering mendengar lagunya, saya
belum pernah coba meminumnya secara langsung. Karena penasaran, saya memutuskan
untuk membeli. Apalagi cuaca sangat dingin di puncak gunung, minuman hangat
sangat diperlukan tubuh. Namun, ada yang salah dari lagu Mang Saswi di atas.
Ternyata harganya bukan Cuma seribu rupiah, melainkan saya membeli dengan harga
Rp. 7.000 segelas. Cukup mahal terntunya. Apa karena dijual di lokasi wisata ya
? Meski begitu, saya tetap membeli, lalu segera mencicipinya. Wow.., ternyata
memang sangat enak dan hangat. Apalagi diberi dengan campuran kelapa muda.
Nikmat dan hangat.
Kebun Teh
Berada di antara pohon teh |
Setelah menikmati minuman bandrek, hujan kembali reda.
Saya dan Lalonk kembali menjelajahi seputaran kawah sambil sesekali memotret.
Setelah merasa puas, kami bersepakat untuk pulang. Saat meninggal pintu gerbang
keluar, pandangan saya tertuju pada hamparan tanaman teh. Sangat menawan
tentunya. Mengenai kebun teh ini, saya belum pernah melihatnya di NTT (daerah
asal). Saat itulah pertama kali saya melihatnya secara langsung.
Lalonk, di kebun teh |
Kesempatan itu tidak saya
sia-siakan. Saya meminta Lalonk untuk berhenti sebentar. Kami berdua memotret
secara bergantian di sana. Pemandangan hamparan teh yang tertata rapi,
menghasilkan foto yang indah. Bagi saya, perjalanan ini memberi banyak
pengetahuan baru dan menyenangkan jiwa. Sekian saja untuk kali ini, ikuti terus
cerita selanjutnya. Salam Sejuta Mimpi !!!
0 Komentar