Bandung #4: Minum Bandrek Di Ketinggian 1830 m Dari Permukaan Laut

Puncak Tangkuban Parahu
Setelah bertemu Lalonk, lalu mengelilingi Kota Bandung (baca cerita sebelumnya di sini), muncul ide mengunjungi tempat wisata yang cukup terkenal di sana. Kami pun bersepakat mengunjungi Gungung Tangkuban Perahu pada Sabtu, 24 Januari 2015 lalu.
Pohon rindang di salah satu ruas jalan Kota Bandung
            Mengendarai sepeda motor, kami berangkat dari Kota Bandung sekitar pukul 11.00 menuju puncak Tangkuban Perahu. Sepanjang jalan, saya tidak henti-hentinya berdecak kagum. Dari pusat Kota Bandung, di sepajang jalan berdiri kokoh pohon yang rindang, menambah keindahannya. Entah sejak kapan pohon tersebut ditanam. Jika dipeluk oleh manusia, pasti tidak dijangkau lagi.
Tanaman sayur dan buah di Lembang
            Saya tidak begitu mengetahui nama daerah yang kami lewati. Beberapa yang sempat saya baca dari papan informasi di pinggiran jalan, jika tidak salah, namanya daerah Lembang. Sepanjang yang saya lihat di kiri dan kanan jalan, hamparan tanaman sayuran dan buah mendominasi hampir sebagian besar wilayah tersebut. Terdapat tulisan pada papan yang dipajang dekat jalan, dimana mereka menerima pembeli sayur dan buah (strowberry) langsung memetik dari pohonnya. Ini merupakan agrowisata yang menarik.
Memasuki hutan Gunung Tangkuban Parahu
            Begitu mendekati puncang gunung, jalanan basah. Ternyata di sana sering turun hujan. Suhu udara semakin dingin. Kabut awan sesekali mengganggu pandangan. Beruntung angin meniupnya hingga cerah kembali. Tapi, tidak lama kemudian, kabut itu muncul kembali. Begitu seterusnya, sambil sesekali gerimis turun.
            Kami memasuki gapura yang bertuliskan ucapan, “Selamat Datang di Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban Parahu”, tepat pukul 12.00. Itu berarti lama perjalanan kami dari Kota Bandung hingga di sana mencapai kurang-lebih 1 jam. Di gerbang itu kami harus membeli tiket masuk dulu. Harganya Rp. 35.000 per orang.
Gapura/gerbang masuk wisata alam Tangkuban Parahu
            Dari gerbang masuk hingga mencapai puncakknya masih cukup jauh. Kita akan melewati jalan yang mendaki dan berliku tajam. Mengendarai sepeda motor harus ekstra hati-hati. Selain karena kondisi jalan yang cukup licin akibat hujan, kabut yang mengganggu jarak pandang juga membutuhkan konsentrasi yang baik. Semakin ke puncak, semakin dingin. Beruntung kami menggunakan jaket/sweater, meskipun tetap tidak mempan mengusir hawa dingin tersebut. Bbbeeeerr....
Di puncak gunung Tangkuban Parahu
            Dalam perjalan di tengah hutan lebat tersebut, ada perasan takut kalau-kalau ada perampok. Apalagi di sepanjang jalan cukup sepi. Berbeda dengan kondisi di puncaknya, ternyata di sana sudah banyak kendaraan yang parkir berjejer. Pengujung hari itu cukup banyak, mungkin karena hasi Sabtu, banyak masyarakat yang berlibur dari rutinitasnya dan memilih berkunjung ke sana.
            Setelah memarkir sepeda motor, kami segera menuju pusat kawah bekas letusan Gunung Tangkuban Parahu. Bau belerang cukup menyengat penciuman. Banyak pengunjung menggunakan masker demi kenyamanan. Saat itu, kami memilih menahan saja. Lagian bau belerang hilang muncul sesuai dengan arah hembusan angin.
Dekat kawah Tangkuban Parahu
            Begitu melihat pengunjung yang baru datang, banyak penjual makanan/minuman dan souvenir menghampiri kita menawarkan dagangannya. Karena tidak begitu tertarik dan demi penghematan, kami menolak dengan halus tawaran tersebut. Bagi saya, tujuan utama berkunjung ke tempat wisata adalah memanjakan mata dengan pemandangan yang unik, lalu mengabadikannya dengan kamera. Saya kira, semua orang juga seperti itu. Gejalanya bisa terlihat dari ramainya pengunjung yang berfoto di sana.
Lalonk
Penjual Souvenir Yang Cerdas
            Begitu berada di dekat pagar batas pengunjung melihat kawah dari dekat, saya dan Lalonk memotret secara bergantian dengan berbagai pose dan angle. Merasa tidak puas karena tidak ada foto bersama, saya berusaha meminta pengunjung lain untuk memotret kami berdua. Hanya saja, setiap pengunjung yang ada di situ sibuk dengan foto dirinya sendiri, teman atau keluarganya.
Bapak penjual souvenir yang bantu kami memotret
            Tidak lama kemudian, seorang Bapak tua menghampiri kami sambil menawarkan souvenir jualannya. Sekali lagi kami menolak dengan halus. Bapak tadi juga tidak banyak memaksa. Kemudian, dia memasukan barang dagangannya ke dalam tas. Melihat saya memegang kamera, bapak tadi menawarkan untuk memotret kami berdua. Awalnya saya berpikir, jangan sampai ini hanya “modus” agar membeli jualannya sebagai imbalan. Dia tetap meyakinkan kami. “Tidak apa-apa kok Mas, mari, biar saya foto kalian berdua”, katanya dengan ekspresi yang ikhlas.
Saya dan Lalonk
            Didorong keinginan bisa foto berdua dengan Lalonk, saya akhirnya mempercayai bapak tadi. Dia mulai mengatur kami dari cara pose hingga mengambil beberapa jepretan. Setelah itu, dia mengembalikan kamera. Saya berterima kasih kepedanya. Bapak tadi hanya mengangguk. Saya terkesan karena beliau tidak menawarkan kembali dagangannya. Bagi saya, bapak tadi memang tulus membantu, bukan hanya “modus”.
Saver & Lalonk
            Tidak lama kemudian, bapak tadi menyahut, “Ayo foto di sana”, sambil menunjuk ke arah kerumanan orang banyak, “Di sana ada papan dengan tulisan Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban Parahu. Ada juga monumen ketinggian puncak gunung dari permukaan laut”. Saya dan Lalonk mengikuti saja arahanya. Ternyata benar, pada papan tersebut berjubel orang mengantri untuk mendapat giliran foto. Selain papan nama, di dekatnya ada pula tulisan ketinggian puncak gunung yang mencapai 1830 m dari permukaan laut. Akhirnya saya dan Lalonk bisa foto bersama di sana dengan bantuan bapak tua tadi.
Berada di ketinggian 1830 m dari permukaan laut
            Setelah mengambil beberapa gambar, saya mengambil kembali kamera dari si bapak. Seperti biasa, dia tidak meminta imbalan atau menawarkan kembali barang dagangannya. Saya semakin yakin, kalau bapak itu memang tulus membantu kami. Menghargai upaya yang telah dilakukannya, saya memutuskan untuk membeli souvenir yang dijual sebagai oleh-oleh ke Surabaya. Beliau tampak senang, begitu pula saya dan Lalonk.

Minum Bandrek
            Setelah berpisah dengan bapak pejual souvenir tadi, saya dan Lalonk terus memotret secara bergantian. Tiba-tiba, hujan turun dengan lebatnya. Kami pun lari berteduh di salah satu tenda yang telah tersedia di sana. Banyak pengunjung yang memadatinya. Selain itu, ada pula penjaja makanan dan minuman.
Penjual minuman bandrek

Perhatian saya tertuju pada penjual minuman ‘Bandrek’. Minuman ini sudah tidak asing lagi didengar dari Mang Saswi dalam acara Ini-Talkshow @NET TV. Biasanya, Kang Sule akan menanyakan Mang Saswi yang memegang segelas minuman, “Minuman apa itu ?”. Lalu, Mang Saswi akan menjawab dengan menyanyi, sbb:
Inilah adalah rauan herbal yang sangat berkhasiat,
Minuman hangat yang bikin badan-mu ngorejat,
Udin petot, udara dingin pengen meletot,
Badan pegel-pegel bisa langsung ngi-gel..
 Reff: (dinyanyikan 2 kali)
Yo bandrek, oooo..
Cap jahe, ora-popo
Ini, Cuma seribu
Enak sama ubi cilembu
 
Menikmati minuman bandrek
            Meski sering mendengar lagunya, saya belum pernah coba meminumnya secara langsung. Karena penasaran, saya memutuskan untuk membeli. Apalagi cuaca sangat dingin di puncak gunung, minuman hangat sangat diperlukan tubuh. Namun, ada yang salah dari lagu Mang Saswi di atas. Ternyata harganya bukan Cuma seribu rupiah, melainkan saya membeli dengan harga Rp. 7.000 segelas. Cukup mahal terntunya. Apa karena dijual di lokasi wisata ya ? Meski begitu, saya tetap membeli, lalu segera mencicipinya. Wow.., ternyata memang sangat enak dan hangat. Apalagi diberi dengan campuran kelapa muda. Nikmat dan hangat.

Kebun Teh
Berada di antara pohon teh
            Setelah menikmati minuman bandrek, hujan kembali reda. Saya dan Lalonk kembali menjelajahi seputaran kawah sambil sesekali memotret. Setelah merasa puas, kami bersepakat untuk pulang. Saat meninggal pintu gerbang keluar, pandangan saya tertuju pada hamparan tanaman teh. Sangat menawan tentunya. Mengenai kebun teh ini, saya belum pernah melihatnya di NTT (daerah asal). Saat itulah pertama kali saya melihatnya secara langsung.
Lalonk, di kebun teh
            Kesempatan itu tidak saya sia-siakan. Saya meminta Lalonk untuk berhenti sebentar. Kami berdua memotret secara bergantian di sana. Pemandangan hamparan teh yang tertata rapi, menghasilkan foto yang indah. Bagi saya, perjalanan ini memberi banyak pengetahuan baru dan menyenangkan jiwa. Sekian saja untuk kali ini, ikuti terus cerita selanjutnya. Salam Sejuta Mimpi !!!

Posting Komentar

0 Komentar